29 Mei 2007

Upaya Pemerintah Dalam Menghapus Segala Bentuk Diskriminasi di Indonesia

Tidak ada yang menyangkal bahwa perilaku diskriminasi akan sangat bertentangan dengan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, oleh karena itu harus segera dihapuskan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu bentuk diskriminasi adalah didasarkan pada jenis kelamin. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalisasi terjadinya diskriminasi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Di samping itu Indonesia juga telah menetapkan strategi pengarusutamaan gender yang dikukuhkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan.
Sebagai tindak lanjut berbagai upaya untuk menyempurnakan/merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan dan belum peduli anak telah dilakukan. Langkah-langkah atau upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut antara lain dengan memperbarui peraturan perundang-undangan serta menyesuaikan dengan ratifikasi Konvensi/Kovenan yang telah dilakukan sebelumnya, disamping itu juga memperbaiki tingkat pelayanan publik yang tidak mengandung diskriminasi terhadap berbagai lapisan masyarakat.
Disahkannya RUU Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh DPR tanggal 11 Juli 2006 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, telah memberikan kontribusi dalam upaya menghapuskan tindakan diskriminatif terhadap perempuan dan anak dan kaum etnis serta telah mengakomodasikan berbagai kepentingan yang mendukung penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Undang-undang tersebut antara lain berisi ketentuan untuk melindungi perempuan yang menikah dengan pria berkebangsaan asing, tidak secara otomatis status kewarganegaraan perempuan serta anak yang dilahirkan menjadi warga negara asing.
Upaya memberikan perlindungan terhadap anak telah dilakukan dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang antara lain mengatur tentang pengurusan akte kelahiran anak yang bebas biaya. Namun pada pelaksanaannya ketentuan ini belum sepenuhnya dapat dijalankan di beberapa daerah. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya komitmen yang maksimal dari aparat penyelenggara negara dalam menjalankan ketentuan undang-undang secara konsisten dalam rangka mengakomodasi kepentingan dan hak anak.
Untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan dalam rangka perlindungan terhadap ketenagakerjaan terutama terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri yang rawan terhadap praktek diskriminasi, saat ini sedang dilakukan peta permasalahan TKI perempuan dikaitkan dengan kebijakan ketenagakerjaan berupa Equal Employment Opportunity (EEO).
Dalam rangka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah ditetapkan pada tanggal 13 Februari 2006. Selain itu saat ini tengah dibahas perubahan RUU KUHAP yang mengupayakan untuk mengintegrasikan konsep sistem peradilan pidana terpadu antara aparat penegak hukum khususnya bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. http://www.lbh-apik.or.id/UU%20kdrt.htm
Di bidang pelayanan publik, pembahasan RUU tentang Pelayanan Publik masih terus dilakukan di DPR. Diharapkan RUU ini dapat segera diselesaikan pada tahun 2007 sehingga akan memberikan kepastian bagi seluruh aparatur pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Pelayanan aparatur pemerintah dari segala lini dan segala segi menjadi lebih baik dan mempunyai dampak akan terpenuhinya hak-hak dasar publik yang wajib dipenuhi pemerintah. Pelayanan prima merupakan keinginan masyarakat termasuk pelaku usaha yang artinya pelayanan publik yang diberikan aparat pelayanan publik tidak diskriminatif dan sesuai dengan prinsip keadilan.
- Written By Wahyu Jati P -

Dari Matahari Belum Terbit Sampai Mata Suami Terpejam

Wanita dijajah pria sejak dulu ……
Dijadikan perhiasan sangkar madu ……
Namun ada kala pria tak berdaya ……
Tekuk lutut disudut kerling wanita ……
( Sabda Alam : Ismail Marzuki )
Bait demi bait lagu ini menggambarkan bahwasannya wanita itu mahluk yang lemah tetapi pada suatu ketika dia dapat menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan yang dapat mengalahkan segalanya. Contoh soal bagaimana seorang wanita dapat bertahan dari segala rintangan dan cobaan setelah ditinggal oleh suaminya untuk selama-lamanya meskipun dengan segala keterbatasan yang ada serta beban yang tidak sedikit mengasuh anak dan mendidik anak-anaknya yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya. Namun semua dihadapi dengan tegar yang pada akhirnya berbuah manis setelah semua anaknya mapan dalam kehidupan dan sampai dia menutup mata tidak ada keinginan untuk menikah lagi selain hanya keinginan untuk melihat anak-anaknya yang mapan tanpa kekurangan suatu apapun jika ia dipanggil olehNya.
Tapi cobalah tengok, apabila seorang laki-laki ditinggal oleh istrinya untuk selamanya karena berjuang bagi kelahiran anaknya yang kesekian. Maka segeralah ia mencari pengganti istrinya. Dengan alasan tidak ada yang mengasuh anak-anaknya. Walaupun saat itu tanah kubur istrinya belum juga kering.
Apabila kita melihat kenyataan ini apakah kita masih menganggap bahwa wanita itu adalah mahluk yang lemah ? Sungguh ironis kondisi ini, pada satu sisi wanita dipandang lemah, tapi pada sisi lain wanita diharuskan untuk tampil. Untuk dapat menunjukkan eksistensinya sebagai seorang wanita pada dunia luar. Tetapi apa mau dikata, kenyataan ini tidak dapat dipungkiri bahwasannya kesetaraan wanita atau yang biasa disebut dengan kesetaraan gender masih sering berbias banyak hal, itu membuat kondisi ini semakin tidak jelas.
Oleh karenanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan giat melakukan sosialisasi, konsolidasi serta evaluasi atas segala bentuk kegiatan yang bermuara pada Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Diantaranya melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) yaitu strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan program dan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Kementerian juga mencanangkan visi dan misinya dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan di Indonesia yaitu :Visi yang akan dicapai adalah “ Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara“.
Sedangkan misinya adalah 1. Meningkatkan kualitas hidup perempuan, 2. Memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, 3. Menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak , 4. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, 5. Meningkatkan pelaksanaan dan memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender termasuk ketersediaan data dan 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat
Semua kegiatan ini tentulah dilandasi atas dasar hukum yang kuat yaitu :
1. UUD 1945 pasal 28
2. UU No. tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)
3. UU No. 39 tahun 2000 tentang HAM
4. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
5. UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
6. Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang RPJM Nasional tahun 2004 - 2005
Keberhasilan pembangunan di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat disadari sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) baik perempuan maupun laki-laki sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran kaum perempuan belum optimal baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal tersebut dikarenakan peluang dan kesempatan untuk berkontribusi masih mengalami berbagai hambatan kultur, sosial dan budaya.
Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan yang menjadi agenda bangsa ini memerlukan dukungan dari semua pihak baik dari pemerintah, masyarakat maupun keluarga sendiri. Bahwasannya gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti musim, budaya, kelas dan bukan kodrat Tuhan tetapi buatan manusia.Jadi pada dasarnya gender itu tidak akan mengubah hal-hal yang telah menjadi kodrat manusia itu sendiri. Yang biasa disebut dengan seks yaitu tidak bisa diubah, tidak bisa dipertukarkan, berlaku bagi kelas dan warna kulit apa saja, ditentukan oleh Tuhan atau kodrat. Sepanjang tidak menimbulkan konflik sebuah aktifitas antara laki-laki dan perempuan itu merupakan sebuah aktifitas yang dapat diterima dengan baik oleh para pihak maupun lingkungan sosial masyarakatnya. Namun apabila terjadi diskriminasi seperti kriteria-kriteria dibawah ini maka hal inilah yang membuat bias sebuah aktifitas antara laki-laki dan perempuan. 1. Stereotype : Pelabelan atau citra baru terhadap salah satu jenis kelamin. Citra baru ini melekat pada peran, fungsi dan tanggung jawab yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang sering kali bersifat negatif dan pada umumnya melakukan ketidak adilan. 2. Subordinasi : Menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki ( diikutsertakan dalam aktifitas tetapi dinomerduakan ) 3. Marginalisasi : Kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus / pekerjaan utama yang mengakibatkan kemiskinan (tidak diikutsertakan dalam aktifitas) 4. Beban Ganda : Salah satu jenis kelamin dimana pihak yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak (berganda) dibandingkan pihak yang lain 5. Kekerasan : Suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental; psikologi seseorang.
Bahwasannya budaya kita yang beraneka ragam suku bangsa ini masih menjadi landasan dasar-dasar struktur sosial yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat kita, terlebih di banyak daerah menganut sistem yang memadukan budaya patriarki dengan sistem ekonomi yang bersifat kapitalis. Dua sistem ini berkonspirasi dengan sangat sempurna yang pada akhirnya akan membuat kesenjangan yang bermasalah bagi sebuah hubungan serta aktifitas antara laki-laki dan perempuan. Hal ini memunculkan sebutan yang satir bagi seorang perempuan bahwa perempuan itu bekerja “ Dari matahari belum terbit sampai mata suami terpejam “ Pada akhirnya dengan mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan baik di ruang publik (umum) maupun diruang domestik (rumahtangga) tanpa menimbulkan kesenjangan yang bermasalah, akan membuat hubungan yang harmonis, setara, sejajar dan seimbang antar kedua belah pihak.
Sepanjang masih dalam koridor yang aman dan ditentukan oleh kodrat kita sebagai manusia maka gender seyogyanya dapat diterima oleh semua pihak. Berbahagialah perempuan Indonesia yang mempunyai kesempatan lebih untuk mengekspresikan dirinya.Maju Terus Perempuan Indonesia !!!!
Sumber: Majalah Online Departemen Hukum dan HAM RI

Gender And Islamic Teaching

Gender issue has been perceived by (ordinary) people as the western ideology that opposes Islamic teaching in one side, and God statement in the holy Quran, or the prophet traditions have not been interpreted contextually on the other. Quran and the prophet traditions have been perceived to be revealed and stated in a vacuum situation and condition so that they are textually interpreted. There is also a notion that the more textually and strictly interpreted the quran and hadist the closer they are to the willing of the God.
If the quran states that “ar rijaalu qowaamuna ‘alan nisaa” means that women should not and could not be appointed to be a leader, and only men should lead women, not the other way around, they are not aware also 1that the God statement is not in the form of instruction (amar) but in the form of telling (khobar) that during early (or jahiliyah) period of arab lives, men were leading and women were subordinated, and that God statement should be interpreted with it context to the subsequent God statement “bima fadldlolallaahu wabima anfaqu min amwalihim. So there are social conditions where men could be the leader. From there we understand also that social condition is about human interaction (muamalah), not about ritual thing (taabbudy).
Islam came for the sake of justice for all (men and women), Islam frees women from subordination by men, from slavery, and other inhuman or degrading treatment. Men and women are equal before God. God Says “lir rijali nashiibum mimma kasabu, walinnisaai nashiibun mima iktasabna” means for men is according to their performances and for women is also according to their performances. We can see also in surah al hujurat in which God says that “oh mankind we indeed create you all, of men and women, and have you belong to different nationalities, and tribes, in order that you acknowledge each other. Indeed the very prestigious individuals to Allah are those who are very obedient to Him”. God won’t discriminate individual on the basis of sex, nationality, color, race or any kind of individual identity.
Those who always positions women in domestic sphere always argue that women are supposed to be protected from unwanted negative situation that often occurred in public sphere such as sexual assault, rape, etc. in this context God also equally orders both men and women in the following statement “qul lil muminiina yaghudlu min abshorihim wyahfadlu furujahum, wa qul lilmuminaati yaghdludlna min abshorihinna wa yahfadzna furuujahunna …” to curb their sight to their opposite sex as the preemptive and preventive endeavors. Not only women should curb their sight but men should also curb their sight, both men and women should be obedient to the God instructions.
If the idea is to establish a safe condition in society where women are in secure, there should be initiatives developed and approaches chosen using all available resources and means such as system of transport, lighting, life guards, surveillance by police, strong punishment for criminals, etc. Islamic teaching was revealed to people with patriarchal culture to do some corrections to that existing social system. Islam eliminate slavery by imposing punishment to free a slave to people committed homicide or other wrong doing such as having sexual intercourse during daylight in ramadhan month. Islam also raises the status of slaves by allowing Moslem to marry them.
If the concept of gender has some thing to do with societal construction, it is in the area of social interaction (mu’amalah) and not in the area of ritual (ta’abbudy), it is up to people to find a better way and to establish appropriate setting in the community. In the context of non taabbudy areas, Rasulullah SAW. Had once said that “antum a’alamu bi umuuri dunyaakum” meaning that you all know what is the best for your existence on the earth. - Jakarta 25 Mei 2007 -
Ditulis oleh : Farid Ma'ruf
dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI