01 November 2007

Wanita: Antara Berkarir Dan Jadi Ibu Rumah Tangga

Seminggu terakhir, mailing list mahasiswa flinders University-Adelaide, diramaikan dg diskusi yg membahas tema di atas. Saya rasa dalam bidang pemberdayaan perempuan seringkali kita menghadapi komen seperti ini. Kira-kira apa tanggapan teman2 soal ini? kalau dalam milist ppia flinders yg menanggapi hanya mahasiswa perempuan, dengan point utama rata-rata memberi penekanan pada pentingnya perempuan untuk mempunyai pilihan. Berikut cuplikan email mahasiswa perempuan yg juga seorang ibu ini: "Saya lagi bingung sama dua pilihan itu sekarang. Mo berkarir atau jadi ibu rumah tangga ya? Dulu sebelum menikah dan jadi ibu, saya kurang suka dengan ide menjadi ibu rumah tangga. Saya selalu berprinsip, lelaki dan wanita punya kesempatan yang sama terutama dalam memutuskan untuk tetap berkarir setelah menikah. Saya tidak mau berdiam diri di rumah setelah menikah sementara orangtua saya sudah berusaha keras membiayai pendidikan saya sampai S1. Waktu itu saya menilai ibu saya, yang seorang ibu rumah tangga, sangat konservatif. Saya pokoknya selalu bertekad untuk berkarir walau sudah menikah dan punya anak. Saya akan memanfaatkan pendidikan saya untuk mewujudkan ambisi dan cita2 saya.
Sekarang setelah saya menikah dan menjadi ibu, semua perspektif itu seakan berubah begitu saja. Jangankan untuk berkarir jam 9 sampai jam 5 di luar rumah, untuk meninggalkan anak saya beberapa jam saja karena harus kuliah atau research di perpustakaan, saya merasa berat sekali melakukannya. Setiap menit di kampus selalu teringat anak di rumah. Walaupun kekhawatiran saya itu tidak beralasan karena dia dijaga oleh bapaknya sendiri yang pastinya lebih dapat diandalkan. Tapi entah apa hubungan saya dengan anak terlalu akrab yang membuat saya tidak dapat meninggalkan dia terlalu lama. Dulu saya pikir perasaan itu hanya di tiga atau enam bulan pertama sejak kelahiran anak saya. Tapi ternyata semua berkelanjutan sampai anak saya sudah 14 bulan sekarang.
Saya jadi berpikir, apa nanti saya bisa meninggalkan dia seharian penuh karena saya harus bekerja memenuhi ambisi saya dulu? Apa dengan begitu saya masih bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab? Apalagi di masa2 begini yng sedang marak kasus2 yang mengerikan terjadi pada anak2 dan yang sangat tidak saya harapkan terjadi pada anak sya, karena saya meninggalkan dia untuk bekerja.
Saya jadi berpikir, mungkin memang sudah begini baiknya, bahwa suami yang cari uang dan istri yang merawat anak. Suami dan istri toh harus menjadi tim yang kompak dalam rumah tangga. Masing2 mempunyai tugas yang sama beratnya. Suami mencari uang dan istri merawat anak. Suatu persepsi yang saya tolak mentah2 beberapa tahun lalu. Setidaknya salah satu di antara kami harus ada yang bertugas merawat anak di rumah. Seringkali, lelaki yang lebih memilih mencari uang ketimbang merawat anak di rumah.
Tapi, kalau saya harus merawat anak di rumah, saya jadi merasa menyia2kan belajar dua tahun di negeri orang. Salah satu tujuan saya ambil S2 adalah agar saya bisa menghasilkan lebih di tempat bekerja nanti. Kalau saya memutuskan utk merawat anak di rumah, gelar itu seakan sia2 saja, kan?
Beberapa waktu lalu, saya nonton Oprah. Di situ saya selalu ingat pengakuan seorang ibu yang meninggalkan karirnya (CEO sukses di sebuah perusahaan telepon) demi anak2nya. Sya masih ingat kata2nya "Being a mother is more precious than being a CEO of a successful company". Lalu saya ingat dia mengatakan kalau dia mungkin menyesal meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi full time mom, tapi dia akan lebih menyesal tidak mengetahui pengalaman anaknya setelah sekolah, tidak membantu anaknya mengerjakan PR, tidak membantu anaknya memecahkan masalah dengan teman2nya, karena dia sudah terlalu lelah sehabis bekerja penuh di luar. Yang dia dapati pada akhirnya, anak2nya mencari orang lain untuk itu. Anak2nya hanya tahu dia sebagai ibu yang hanya memberi uang dan membuatkannya sarapan pagi, kalau sempat. "
Saya ingin berbagi ini semua dengan semua ibu yang memutuskan untuk bekerja atau menjadi stay at home mom. Just wondering, is it just me, or have any other moms also felt the same way as I do right now?
Cheers
E (mother of C, 1) Sumber: Gender_focalpoints at yahoo Group

06 Oktober 2007

Kongres AS Setujui UU Ramadan Bulan Suci

Sejarah besar tercatat dalam perjalanan Islam di Amerika Serikat. Tanggal 5 Oktober 2007, Kongres AS dengan suara bulat, 376-0, menyetujui rancangan undang-undang (RUU) yang berisi resolusi mengakui bulan Ramadan sebagai bulan suci umat Islam. Dengan resolusi tersebut, pemerintah AS akan memberikan penghormatan sedalam-dalamnya pada bulan suci Ramadan serta siap melindungi umat Islam dari perbuatan kriminal dan tidak toleran saat menjalankan ibadah. Resolusi bersejarah itu diusulkan senator asal Texas Eddie Bernice Johnson dan didukung penuh (co-sponsored) 30 senator lain, termasuk Keith Ellison, senator asal Minnesota. Ellison adalah muslim pertama yang terpilih menjadi anggota Kongres AS. Senator asal California Brad Sherman, yang termasuk di barisan terdepan pendukung resolusi, mengatakan, Ramadan mengajarkan tentang pentingnya meningkatkan iman dan pentingnya keluarga dan masyarakat yang merupakan nilai-nilai universal yang harus dibagi. "Karena itu, sangat penting bagi Kongres AS untuk mengakui peringatan itu dan menunjukkan penghormatan yang dalam terhadap muslim di AS dan seluruh dunia," lanjutnya. Direktur Eksekutif Dewan Urusan Muslim Pemerintah AS Salam Al-Marayati mengatakan, keputusan kongres tersebut merupakan lompatan bersejarah bagi Amerika. "Keputusan Kongres AS adalah sebuah penguatan atas tradisi penghargaan pluralisme dan toleransi beragama yang sangat kuat di negara kami," jelasnya. Islam merupakan agama yang sangat berkembang pesat di Amerika. Hingga saat ini, diperkirakan ada 5 hingga 6 juta pemeluk agama Islam di AS. Pemerintah AS pun sudah mulai memberikan perhatian yang besar terhadap Islam. Selain RUU itu, Bush mengucapkan selamat berpuasa kepada umat muslim di AS dan dunia pada awal Ramadan tahun ini. Kemarin Presiden Bush juga melanjutkan tradisi buka puasa bersama di Gedung Putih. Jaringan kantor berita VOA melaporkan, pada buka puasa yang ketujuh di Gedung Putih, pemerintahan Bush menjadikan para wanita muslim AS yang berkontribusi besar atas pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, seni, dan kebudayaan sebagai tamu spesial. Dalam pidato sebelum azan magrib, Presiden Bush menyatakan, Ramadan adalah waktu yang tepat untuk beramal kepada orang kurang beruntung. Selain itu, Ramadan adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kebudayaan Islam yang selama ini ikut memperkaya peradaban dunia selama berabad-abad. Seperti pidatonya di berbagai kesempatan, Bush kembali mengingatkan bahaya aksi terorisme oleh kelompok ekstremis. "Dunia sekarang sedang berperang dengan para ekstremis yang berusaha menghentikan kebebasan masyarakat muslim di seluruh dunia," tegasnya.
-Sumber: Jawa Pos, 6 Oktober 2007-

28 Agustus 2007

HUSBANDS Vs WIVES

HUSBANDS Vs

HUSBANDS Vs

HUSBANDS Vs. WIVES ?

By: Farid Ma’ruf*

As I mentioned in my previous article entitled “Gender and Islamic Teaching” that there are still people who have been resistant to the issue of gender. Gender, to them, is a western ideology that contradicts with Islamic teaching and is introduced to liberalize women so that they will no longer obedience to their husbands. Women are supposed to respect and obey their husbands in all situations; their obedience is part of the ritual to their God. The ironic thing is that such statement was raised by a woman during ask and question session in a discussion on Child Protection Law in Central Jakarta on May 30, 2007. To them, introducing gender is also to poison people way of thinking that lead them to oppose the sacred revelations from God, She stated that by ratifying CEDAW, Indonesia is to invest hatred feeling between husbands and wives, and then she also questioned why marriage under age is prohibited while government provides condom in the name of HIV/AIDS prevention, and then she proudly ended her statement by citing phrase no. 30 of surah al Anfal “wamakaruu wamakarollahu wallaahu khairul makiriin” meaning that they are going to do fraud but God is going to do fraud against them because God is the best in doing so’

That is the real misunderstanding about gender, gender has been perceived as misleading human ideology, and it will not be a good vehicle for human being to reach a better situation and condition, and only to God teaching we have to subject to. They believe that God had already given us a complete and detail prescription for our best. In deed God only provide us generic norms for us to follow instead of detail technical guidance for every thing. If we follow her paradigm, seem to be that there is no area for human creativity (ijtihad) at all, and no societal correlation in interpreting God statements, all depend on the God willing just like fatalistic (jabbariyah) way of thinking.

To me, such a way of thinking is a partial and misleading understanding about Islamic teaching. If every thing is belong to area of ta’abbudy, no human creativities will exist in our lives. In the gender context, we, as human being, are supposed to implement the legal maxim (qawaidul ushuliyyah) of “al-ashlu fil mu’amalaati al iltifaatu ila ma’aniha” meaning that “in the area of human interaction we have to find the right meanings” that are fit and beneficial for goodness of human being. When God says that marriage (nikah) is a strong or permanent agreement between a man and a woman in the phrase 21 of surah Al-Nisa, God and the Prophet had never given us detail on how to technically establish and maintain such strong agreement in accordance to current condition.

Umar bin Khattab, for instance, had once ordered that someone who decided thalaq 3 must be implemented even though qur’an says that no thalaq 3 at once time as Allah says in surah al-Baqoroh phrase no. 229. In this context human being has opportunities to do some creative things in interpreting such God-statements, Ulama saw that establishing t’aliq talaq is one way of maintaining the strong or permanent agreement (nikah). Later we also aware that it is impossible to have such strong agreement between a man and a woman without consent like a marriage with under aged child. Therefore we agree that marriage is supposed to be between a man and a woman of full age, and since children are under age and are perceived to have no consent, they are not eligible for marriage, that is why chapter 26 article 1 of the Act no 23/2002 on Child Protection prohibit parents to arrange marriage of children under age.

Violence against women is one of universal predictors for an imbalance relationship between men ad women whether in public or private sphere that generally ends up in disadvantaged condition for women and demoralizes them too. Should we let this situation continues, and will God be happy witnessing such condition. We continue witnessing horrible cases where women are physically abused, or mentally intimidated by their husbands or partners. We believe that women deserve an equal and fair treatment in the community, and they also have individual rights before law and before God as well. Therefore we have to respect their rights by providing equal access to public services, and protection against any evil and unfair treatments.

Subordination is a form of jahiliyyah heritages in the name of male privileges over women. Women are perceived to be weak, unable to do war against enemies. Having a female baby was a stigma for a family because women were not as prestigious as having a male baby on that time. Women can only do some supportive things and domestic works not in public arena. To end my article, it will be good for a women like the one I mentioned in the first paragraph to learn more about Islamic law philosophy as well as qawaidul fiqhiyyah that are extracted by ulama from the Qur’an and the prophet traditions, not simply do some hit and run way of thinking. Accusing that other people perception is not true and claiming that only his or her point of view is the absolute right is one thing that we have to avoid from because such arrogance would bring us into difficult situation. Once Rasulullsh Saw. said that ”al Islam mahjuubun bil muslimiin” meaning that Islam will be hindered by Moslem themselves (because misunderstanding and misleading behaviors. However, what we understand about God-revelations or the prophet traditions is not something absolute, that is why we should always end our statement or comment by saying “wallahu a’alamu bimuradihi” meaning that God is the one who know the exact message and meaning of the texts.

Islam is actually very tolerant and opens to differences even it urges all Moslem to be a broad minded community, tolerant to people pint of views. Claiming that the only point of vies of one group of people is the right one, and blaming other group people point of view as bad is truly a big mistake. In this context Allah says in the surah al hujurat phare no. which means “ oh the believers please one group not to look down other group of community, who knows that the group they look down is in fact better than their group”

* Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI

29 Mei 2007

Upaya Pemerintah Dalam Menghapus Segala Bentuk Diskriminasi di Indonesia

Tidak ada yang menyangkal bahwa perilaku diskriminasi akan sangat bertentangan dengan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, oleh karena itu harus segera dihapuskan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu bentuk diskriminasi adalah didasarkan pada jenis kelamin. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalisasi terjadinya diskriminasi, Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak (CRC) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Di samping itu Indonesia juga telah menetapkan strategi pengarusutamaan gender yang dikukuhkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan.
Sebagai tindak lanjut berbagai upaya untuk menyempurnakan/merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan dan belum peduli anak telah dilakukan. Langkah-langkah atau upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut antara lain dengan memperbarui peraturan perundang-undangan serta menyesuaikan dengan ratifikasi Konvensi/Kovenan yang telah dilakukan sebelumnya, disamping itu juga memperbaiki tingkat pelayanan publik yang tidak mengandung diskriminasi terhadap berbagai lapisan masyarakat.
Disahkannya RUU Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh DPR tanggal 11 Juli 2006 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, telah memberikan kontribusi dalam upaya menghapuskan tindakan diskriminatif terhadap perempuan dan anak dan kaum etnis serta telah mengakomodasikan berbagai kepentingan yang mendukung penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Undang-undang tersebut antara lain berisi ketentuan untuk melindungi perempuan yang menikah dengan pria berkebangsaan asing, tidak secara otomatis status kewarganegaraan perempuan serta anak yang dilahirkan menjadi warga negara asing.
Upaya memberikan perlindungan terhadap anak telah dilakukan dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang antara lain mengatur tentang pengurusan akte kelahiran anak yang bebas biaya. Namun pada pelaksanaannya ketentuan ini belum sepenuhnya dapat dijalankan di beberapa daerah. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya komitmen yang maksimal dari aparat penyelenggara negara dalam menjalankan ketentuan undang-undang secara konsisten dalam rangka mengakomodasi kepentingan dan hak anak.
Untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan dalam rangka perlindungan terhadap ketenagakerjaan terutama terhadap tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri yang rawan terhadap praktek diskriminasi, saat ini sedang dilakukan peta permasalahan TKI perempuan dikaitkan dengan kebijakan ketenagakerjaan berupa Equal Employment Opportunity (EEO).
Dalam rangka penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang telah ditetapkan pada tanggal 13 Februari 2006. Selain itu saat ini tengah dibahas perubahan RUU KUHAP yang mengupayakan untuk mengintegrasikan konsep sistem peradilan pidana terpadu antara aparat penegak hukum khususnya bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. http://www.lbh-apik.or.id/UU%20kdrt.htm
Di bidang pelayanan publik, pembahasan RUU tentang Pelayanan Publik masih terus dilakukan di DPR. Diharapkan RUU ini dapat segera diselesaikan pada tahun 2007 sehingga akan memberikan kepastian bagi seluruh aparatur pemerintah dalam melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. Pelayanan aparatur pemerintah dari segala lini dan segala segi menjadi lebih baik dan mempunyai dampak akan terpenuhinya hak-hak dasar publik yang wajib dipenuhi pemerintah. Pelayanan prima merupakan keinginan masyarakat termasuk pelaku usaha yang artinya pelayanan publik yang diberikan aparat pelayanan publik tidak diskriminatif dan sesuai dengan prinsip keadilan.
- Written By Wahyu Jati P -

Dari Matahari Belum Terbit Sampai Mata Suami Terpejam

Wanita dijajah pria sejak dulu ……
Dijadikan perhiasan sangkar madu ……
Namun ada kala pria tak berdaya ……
Tekuk lutut disudut kerling wanita ……
( Sabda Alam : Ismail Marzuki )
Bait demi bait lagu ini menggambarkan bahwasannya wanita itu mahluk yang lemah tetapi pada suatu ketika dia dapat menjadi seseorang yang mempunyai kekuatan yang dapat mengalahkan segalanya. Contoh soal bagaimana seorang wanita dapat bertahan dari segala rintangan dan cobaan setelah ditinggal oleh suaminya untuk selama-lamanya meskipun dengan segala keterbatasan yang ada serta beban yang tidak sedikit mengasuh anak dan mendidik anak-anaknya yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya. Namun semua dihadapi dengan tegar yang pada akhirnya berbuah manis setelah semua anaknya mapan dalam kehidupan dan sampai dia menutup mata tidak ada keinginan untuk menikah lagi selain hanya keinginan untuk melihat anak-anaknya yang mapan tanpa kekurangan suatu apapun jika ia dipanggil olehNya.
Tapi cobalah tengok, apabila seorang laki-laki ditinggal oleh istrinya untuk selamanya karena berjuang bagi kelahiran anaknya yang kesekian. Maka segeralah ia mencari pengganti istrinya. Dengan alasan tidak ada yang mengasuh anak-anaknya. Walaupun saat itu tanah kubur istrinya belum juga kering.
Apabila kita melihat kenyataan ini apakah kita masih menganggap bahwa wanita itu adalah mahluk yang lemah ? Sungguh ironis kondisi ini, pada satu sisi wanita dipandang lemah, tapi pada sisi lain wanita diharuskan untuk tampil. Untuk dapat menunjukkan eksistensinya sebagai seorang wanita pada dunia luar. Tetapi apa mau dikata, kenyataan ini tidak dapat dipungkiri bahwasannya kesetaraan wanita atau yang biasa disebut dengan kesetaraan gender masih sering berbias banyak hal, itu membuat kondisi ini semakin tidak jelas.
Oleh karenanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan giat melakukan sosialisasi, konsolidasi serta evaluasi atas segala bentuk kegiatan yang bermuara pada Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Diantaranya melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) yaitu strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan program dan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi. Kementerian juga mencanangkan visi dan misinya dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan di Indonesia yaitu :Visi yang akan dicapai adalah “ Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara“.
Sedangkan misinya adalah 1. Meningkatkan kualitas hidup perempuan, 2. Memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, 3. Menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak , 4. Meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, 5. Meningkatkan pelaksanaan dan memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender termasuk ketersediaan data dan 6. Meningkatkan partisipasi masyarakat
Semua kegiatan ini tentulah dilandasi atas dasar hukum yang kuat yaitu :
1. UUD 1945 pasal 28
2. UU No. tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)
3. UU No. 39 tahun 2000 tentang HAM
4. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
5. UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
6. Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang RPJM Nasional tahun 2004 - 2005
Keberhasilan pembangunan di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat disadari sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) baik perempuan maupun laki-laki sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran kaum perempuan belum optimal baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal tersebut dikarenakan peluang dan kesempatan untuk berkontribusi masih mengalami berbagai hambatan kultur, sosial dan budaya.
Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan yang menjadi agenda bangsa ini memerlukan dukungan dari semua pihak baik dari pemerintah, masyarakat maupun keluarga sendiri. Bahwasannya gender adalah perbedaan peran fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti musim, budaya, kelas dan bukan kodrat Tuhan tetapi buatan manusia.Jadi pada dasarnya gender itu tidak akan mengubah hal-hal yang telah menjadi kodrat manusia itu sendiri. Yang biasa disebut dengan seks yaitu tidak bisa diubah, tidak bisa dipertukarkan, berlaku bagi kelas dan warna kulit apa saja, ditentukan oleh Tuhan atau kodrat. Sepanjang tidak menimbulkan konflik sebuah aktifitas antara laki-laki dan perempuan itu merupakan sebuah aktifitas yang dapat diterima dengan baik oleh para pihak maupun lingkungan sosial masyarakatnya. Namun apabila terjadi diskriminasi seperti kriteria-kriteria dibawah ini maka hal inilah yang membuat bias sebuah aktifitas antara laki-laki dan perempuan. 1. Stereotype : Pelabelan atau citra baru terhadap salah satu jenis kelamin. Citra baru ini melekat pada peran, fungsi dan tanggung jawab yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang sering kali bersifat negatif dan pada umumnya melakukan ketidak adilan. 2. Subordinasi : Menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki ( diikutsertakan dalam aktifitas tetapi dinomerduakan ) 3. Marginalisasi : Kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus / pekerjaan utama yang mengakibatkan kemiskinan (tidak diikutsertakan dalam aktifitas) 4. Beban Ganda : Salah satu jenis kelamin dimana pihak yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak (berganda) dibandingkan pihak yang lain 5. Kekerasan : Suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental; psikologi seseorang.
Bahwasannya budaya kita yang beraneka ragam suku bangsa ini masih menjadi landasan dasar-dasar struktur sosial yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat kita, terlebih di banyak daerah menganut sistem yang memadukan budaya patriarki dengan sistem ekonomi yang bersifat kapitalis. Dua sistem ini berkonspirasi dengan sangat sempurna yang pada akhirnya akan membuat kesenjangan yang bermasalah bagi sebuah hubungan serta aktifitas antara laki-laki dan perempuan. Hal ini memunculkan sebutan yang satir bagi seorang perempuan bahwa perempuan itu bekerja “ Dari matahari belum terbit sampai mata suami terpejam “ Pada akhirnya dengan mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan baik di ruang publik (umum) maupun diruang domestik (rumahtangga) tanpa menimbulkan kesenjangan yang bermasalah, akan membuat hubungan yang harmonis, setara, sejajar dan seimbang antar kedua belah pihak.
Sepanjang masih dalam koridor yang aman dan ditentukan oleh kodrat kita sebagai manusia maka gender seyogyanya dapat diterima oleh semua pihak. Berbahagialah perempuan Indonesia yang mempunyai kesempatan lebih untuk mengekspresikan dirinya.Maju Terus Perempuan Indonesia !!!!
Sumber: Majalah Online Departemen Hukum dan HAM RI

Gender And Islamic Teaching

Gender issue has been perceived by (ordinary) people as the western ideology that opposes Islamic teaching in one side, and God statement in the holy Quran, or the prophet traditions have not been interpreted contextually on the other. Quran and the prophet traditions have been perceived to be revealed and stated in a vacuum situation and condition so that they are textually interpreted. There is also a notion that the more textually and strictly interpreted the quran and hadist the closer they are to the willing of the God.
If the quran states that “ar rijaalu qowaamuna ‘alan nisaa” means that women should not and could not be appointed to be a leader, and only men should lead women, not the other way around, they are not aware also 1that the God statement is not in the form of instruction (amar) but in the form of telling (khobar) that during early (or jahiliyah) period of arab lives, men were leading and women were subordinated, and that God statement should be interpreted with it context to the subsequent God statement “bima fadldlolallaahu wabima anfaqu min amwalihim. So there are social conditions where men could be the leader. From there we understand also that social condition is about human interaction (muamalah), not about ritual thing (taabbudy).
Islam came for the sake of justice for all (men and women), Islam frees women from subordination by men, from slavery, and other inhuman or degrading treatment. Men and women are equal before God. God Says “lir rijali nashiibum mimma kasabu, walinnisaai nashiibun mima iktasabna” means for men is according to their performances and for women is also according to their performances. We can see also in surah al hujurat in which God says that “oh mankind we indeed create you all, of men and women, and have you belong to different nationalities, and tribes, in order that you acknowledge each other. Indeed the very prestigious individuals to Allah are those who are very obedient to Him”. God won’t discriminate individual on the basis of sex, nationality, color, race or any kind of individual identity.
Those who always positions women in domestic sphere always argue that women are supposed to be protected from unwanted negative situation that often occurred in public sphere such as sexual assault, rape, etc. in this context God also equally orders both men and women in the following statement “qul lil muminiina yaghudlu min abshorihim wyahfadlu furujahum, wa qul lilmuminaati yaghdludlna min abshorihinna wa yahfadzna furuujahunna …” to curb their sight to their opposite sex as the preemptive and preventive endeavors. Not only women should curb their sight but men should also curb their sight, both men and women should be obedient to the God instructions.
If the idea is to establish a safe condition in society where women are in secure, there should be initiatives developed and approaches chosen using all available resources and means such as system of transport, lighting, life guards, surveillance by police, strong punishment for criminals, etc. Islamic teaching was revealed to people with patriarchal culture to do some corrections to that existing social system. Islam eliminate slavery by imposing punishment to free a slave to people committed homicide or other wrong doing such as having sexual intercourse during daylight in ramadhan month. Islam also raises the status of slaves by allowing Moslem to marry them.
If the concept of gender has some thing to do with societal construction, it is in the area of social interaction (mu’amalah) and not in the area of ritual (ta’abbudy), it is up to people to find a better way and to establish appropriate setting in the community. In the context of non taabbudy areas, Rasulullah SAW. Had once said that “antum a’alamu bi umuuri dunyaakum” meaning that you all know what is the best for your existence on the earth. - Jakarta 25 Mei 2007 -
Ditulis oleh : Farid Ma'ruf
dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI

11 Mei 2007

MY APPRECIATION TO THE DEDICTATED WEBSITE

By: Farid Ma’ruf*
During Gender Mainstreaming and Analysis Training in Australia, we all learnt how important the gender issue is in our lives. The extent of importance of the gender encompasses all segments of our live, from private or domestic sphere to public arena, that is why gender said to be a cross cutting issue. Both men and women are of important agents. We as men and women are of course very important in terms of being representatives of Indonesian we all are also ambassadors of our own communities and we are assuming gender experts too. As we graduated from the training, all we have responsibility and obligation to be always gender responsive because gender is about attitude and behavior, no mater what our individual position is. Action plan is a minimum thing and one step for us to exercise our knowledge and technical expertise about gender in the area where we are working.
However, knowledge we had got from the three-month training is not sufficient enough to be a real gender expert, we have to learn many more things other than what we had learnt. All we have to do is to share our knowledge through information exchange among ourselves. Now we have a very sound website called http://gender-indonesia@blogspot.com. We have to appreciate Wahyu Jati pramanto who had wholeheartedly dedicated his expertise in IT by developing a very promising medium for all of us. This is the real attitude, behavior, commitment, and dedication too, toward a better gender relationship in the community.
I had already reported this website to Mr Dr. Surjadi Soeparman, Deputy Minister for Gender Mainstreaming in Jakarta. I said that this website is the realization of the group commitment during the meeting with him and Ms Mardiana at Franklin Central Apartment room #111 in Australia. Do you know what his respond is? He reconfirmed to me whether the website is accessible now or not. So it is a challenge for all us to optimally utilize the website. Articles, opinions, or whatever information that are important and have thing to do with gender, please post them out. Again thank you Wahyu, and well come to all my colleagues.
Ditulis oleh : Farid Ma'ruf

01 Mei 2007

Ruang Lingkup HAM*

I. Pengertian

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

(Pasal 1 ayat(1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

II. Jenis Hak Asasi Manusia

  1. Hak untuk Hidup;
  2. Hak berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan;
  3. Hak Mengembangkan Diri;
  4. Hak Memperoleh Keadilan;
  5. Hak Atas Kebebasan Pribadi;
  6. Hak Atas Rasa Aman;
  7. Hak Atas Kesejahteraan;
  8. Hak Turut Serta dalam Pemerintahan;
  9. Hak Wanita;
  10. Hak Anak

(Pasal 9 s/d 66 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)

III. Landasan Hukum HAM

Landasan Hukum dari Hak Asasi Manusia secara internasional berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 dan Instrumen Internasional(Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,Ekonomi, Sosial Budaya, Protokol Opsional Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang Ditujukan untuk Penghapusan Hukuman Mati, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia), sedangkan di Indonesia Hak Asasi Manusia diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

IV. Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Secara nyata pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN HAM) yang berfungsi untuk menjamin peningkatan, penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat istiadat dan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

RAN HAM Indonesia dilaksanakan oleh Panitia Nasional yang bertanggung jawab pada Presiden maupun Panitia Pelaksana Provinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab pada Panitia Nasional dan Gubernur tiap Provinsi.

Panitia RAN HAM baik di tingkat pusat maupun daerah merupakan Kelompok Kerja yang terdiri dari unsur instansi pemerintah, lembaga nasional, serta para pakar dan unsur masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.

Tugas dari Panitia RAN HAM baik pusat maupun daerah adalah :

  1. pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RAN HAM;
  2. persiapan harmonisasi Peraturan Daerah;
  3. diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia;
  4. penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia;
  5. pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

V. Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. (Pasal 1 ayat(6) UU No.39 Tahun 1999)

Pelanggaran Hak Asasi Manusia secara konkret dan yuridis ditangani oleh KOMNAS HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) yang merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya

* Ditulis oleh Wahyu Jati Pramanto, Staf pada Departemen Hukum dan HAM RI

28 April 2007

Budaya Partiarkis

Sikap partiarkis telah tertanam dalam di seluruh tingkat masyarakat di Indonesia, mempengaruhi pemerintah dan kebijakannya, dan lembaga sosial seperti sistem pendidikan, agama, dan keluarga. Sikap ini secara tradisional menekan perempuan. Kesempatan sekolah di tingkat tertentu dalam masyarakat dibatasi bagi perempuan, terlebih lagi kesempatan kerja. Saat perempuan memiliki pekerjaan pun, biasanya upah yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan kerja dan tekanan yang dialami untuk berhenti kerja setelah menikah. Sikap ini secara sistematis dilestarikan dan disarikan lewat sosialisasi nilai dan stereotipe peran perempuan/ laki-laki dari usia dini. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan dipinggirkan sejak usia dini - dilarang bicara keras-keras, tertawa terbahak-bahak, memanjat, keluar rumah, atau bahkan bertanya. Laki-laki, sebaliknya, tak boleh berada di dapur dalam budaya Jawa tradisional. Kurangnya kesetaraan gender mempengaruhi juga anak laki-laki. Studi psikologi membuktikan kerusakan yang dapat diakibatkan saat, misalnya, anak laki-laki dilarang mengekspresikan emosi mereka, atau didorong mengembangkan sifat agresif, sementara perempuan didorong menjadi pasif dan diberi pilihan terbatas untuk masa depannya.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari wacana diatas silahkan memberi komentar yang konstruktif..
Terimakasih..
* Ditulis oleh Wahyu Jati Pramanto, Staff pada Departemen Hukum dan HAM RI

Selamat datang di Gender Blog!!

Assalammualaikum wr.wb
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, pada hari ini tanggal 28 April 2007, telah hadir sebuah blog yang memberikan segala informasi tentang perjuangan kesetaraan gender di Indonesia.
Blog ini merupakan implementasi "action plan" bersama dari para Alumni Gender Mainstreaming and Analysis Course angkatan 2007 yang diadakan di Australia . Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Deputi PUG dan kawan-kawan dari lintas sektor (pemerintah dan LSM) baik yang berada di pusat maupun di daerah yang telah memberikan dukungan atas didirikannya blog ini.
Untuk itu demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam tema utama blog ini, diharapkan kepada semua pihak yang respect terhadap permasalahan-permasalahan gender di indonesia, bersedia memberikan konstribusi tulisan maupun dokumentasi tentang kegiatan-kegiatan gender yang ada pada lingkungan masing-masing dengan cara mengirim artikel tersebut ke alamat email : aku_ker3n@yahoo.com. Semua artikel yang masuk akan segera di posted. Sedangkan untuk setiap artikel yang sudah ada dalam blog ini , bisa memberikan komentar secara langsung dengan cara klik pada tulisan comment di bawah artikel.
Terimakasih
-wjp-