01 November 2007

Wanita: Antara Berkarir Dan Jadi Ibu Rumah Tangga

Seminggu terakhir, mailing list mahasiswa flinders University-Adelaide, diramaikan dg diskusi yg membahas tema di atas. Saya rasa dalam bidang pemberdayaan perempuan seringkali kita menghadapi komen seperti ini. Kira-kira apa tanggapan teman2 soal ini? kalau dalam milist ppia flinders yg menanggapi hanya mahasiswa perempuan, dengan point utama rata-rata memberi penekanan pada pentingnya perempuan untuk mempunyai pilihan. Berikut cuplikan email mahasiswa perempuan yg juga seorang ibu ini: "Saya lagi bingung sama dua pilihan itu sekarang. Mo berkarir atau jadi ibu rumah tangga ya? Dulu sebelum menikah dan jadi ibu, saya kurang suka dengan ide menjadi ibu rumah tangga. Saya selalu berprinsip, lelaki dan wanita punya kesempatan yang sama terutama dalam memutuskan untuk tetap berkarir setelah menikah. Saya tidak mau berdiam diri di rumah setelah menikah sementara orangtua saya sudah berusaha keras membiayai pendidikan saya sampai S1. Waktu itu saya menilai ibu saya, yang seorang ibu rumah tangga, sangat konservatif. Saya pokoknya selalu bertekad untuk berkarir walau sudah menikah dan punya anak. Saya akan memanfaatkan pendidikan saya untuk mewujudkan ambisi dan cita2 saya.
Sekarang setelah saya menikah dan menjadi ibu, semua perspektif itu seakan berubah begitu saja. Jangankan untuk berkarir jam 9 sampai jam 5 di luar rumah, untuk meninggalkan anak saya beberapa jam saja karena harus kuliah atau research di perpustakaan, saya merasa berat sekali melakukannya. Setiap menit di kampus selalu teringat anak di rumah. Walaupun kekhawatiran saya itu tidak beralasan karena dia dijaga oleh bapaknya sendiri yang pastinya lebih dapat diandalkan. Tapi entah apa hubungan saya dengan anak terlalu akrab yang membuat saya tidak dapat meninggalkan dia terlalu lama. Dulu saya pikir perasaan itu hanya di tiga atau enam bulan pertama sejak kelahiran anak saya. Tapi ternyata semua berkelanjutan sampai anak saya sudah 14 bulan sekarang.
Saya jadi berpikir, apa nanti saya bisa meninggalkan dia seharian penuh karena saya harus bekerja memenuhi ambisi saya dulu? Apa dengan begitu saya masih bisa menjadi ibu yang bertanggung jawab? Apalagi di masa2 begini yng sedang marak kasus2 yang mengerikan terjadi pada anak2 dan yang sangat tidak saya harapkan terjadi pada anak sya, karena saya meninggalkan dia untuk bekerja.
Saya jadi berpikir, mungkin memang sudah begini baiknya, bahwa suami yang cari uang dan istri yang merawat anak. Suami dan istri toh harus menjadi tim yang kompak dalam rumah tangga. Masing2 mempunyai tugas yang sama beratnya. Suami mencari uang dan istri merawat anak. Suatu persepsi yang saya tolak mentah2 beberapa tahun lalu. Setidaknya salah satu di antara kami harus ada yang bertugas merawat anak di rumah. Seringkali, lelaki yang lebih memilih mencari uang ketimbang merawat anak di rumah.
Tapi, kalau saya harus merawat anak di rumah, saya jadi merasa menyia2kan belajar dua tahun di negeri orang. Salah satu tujuan saya ambil S2 adalah agar saya bisa menghasilkan lebih di tempat bekerja nanti. Kalau saya memutuskan utk merawat anak di rumah, gelar itu seakan sia2 saja, kan?
Beberapa waktu lalu, saya nonton Oprah. Di situ saya selalu ingat pengakuan seorang ibu yang meninggalkan karirnya (CEO sukses di sebuah perusahaan telepon) demi anak2nya. Sya masih ingat kata2nya "Being a mother is more precious than being a CEO of a successful company". Lalu saya ingat dia mengatakan kalau dia mungkin menyesal meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi full time mom, tapi dia akan lebih menyesal tidak mengetahui pengalaman anaknya setelah sekolah, tidak membantu anaknya mengerjakan PR, tidak membantu anaknya memecahkan masalah dengan teman2nya, karena dia sudah terlalu lelah sehabis bekerja penuh di luar. Yang dia dapati pada akhirnya, anak2nya mencari orang lain untuk itu. Anak2nya hanya tahu dia sebagai ibu yang hanya memberi uang dan membuatkannya sarapan pagi, kalau sempat. "
Saya ingin berbagi ini semua dengan semua ibu yang memutuskan untuk bekerja atau menjadi stay at home mom. Just wondering, is it just me, or have any other moms also felt the same way as I do right now?
Cheers
E (mother of C, 1) Sumber: Gender_focalpoints at yahoo Group